Late
Truth
Setiap sore, terlihat ada seorang
gadis yang menghabiskan waktunya di pinggir danau yang berada di tengah-tengah
sebuah taman. Taman yang memiliki berbagai macam tanaman, beberapa tempat
bermain untuk anak-anak, dan ada beberapa hewan yang cantik. Taman yang hampir
setiap sudut ada pohon besar, bisa untuk berteduh di bawahnya. Gadis itu selalu
berada di bawah pohon yang menghadap langsung ke danau. Entah apa yang
dilakukan, ia hanya terlihat duduk bersandar dan memandangi danau sendirian. Ia
datang pukul 3 sore dan pulang pukul 5 sore saat taman itu tutup.
Gadis itu bernama Gita. Sudah
beberapa tahun terakhir dia menjadi pengunjung tetap taman berdanau tersebut.
Menurutnya air danau yang tenang akan membuat pikirannya tenang. Untuk seorang
gadis yang memiliki banyak masalah seperti Gita, lebih baik memang menghabiskan
waktu untuk menenangkan pikiran. Dibandingkan menghabiskan waktu dengan hal-hal
yang merugikan.
Beberapa tahun lalu Gita harus
menelan rasa kecewa sekaligus benci, karena Ayahnya dengan mudahnya
meninggalkan dia dan Ibunya. Alasannya sangat tidak masuk akal, hanya karena
Ibunya sudah tidak bisa mengurus rumah dengan baik. Setiap hari Ayahnya
mengeluh karena rumah yang selalu kurang bersih. Gita merasa itu hanya sebuah
alasan yang dibuat-buat, buktinya setelah orang tuanya resmi bercerai, Ayahnya
menikah lagi dengan wanita lain. Gita waktu itu masih berumur 15 tahun, masih
belum cukup mengerti apa yang terjadi. Sekarang Gita sudah menginjak 20 tahun,
sudah sangat mengerti yang terjadi dengan orang tuanya.
Walaupun orang tuanya berpisah, Gita
masih bisa bersekolah hingga SMA. Ibunya selalu berusaha bekerja untuk
mencukupi kebutuhan keluarga. Ibunya tidak pernah mengeluh dengan keadaan,
selalu tersenyum dan tampak bahagia. Namun, Gita tahu kalau Ibunya sangat
tersakiti. Semenjak itulah Gita sangat membenci keberadaan laki-laki, ia tidak
mau memiliki nasib sama seperti Ibunya. Sampai sekarang Gita belum pernah dekat
dengan laki-laki, atau lebih cenderung menghindari laki-laki.
“Permisi!” Gita yang sedang duduk
memandangi danau, dikejutkan sebuah suara laki-laki yang tiba-tiba ada di
sampingnya.
Spontan
Gita menoleh ke sumber suara. Gita mengernyitkan dahi, sama sekali merasa tidak
mengenal laki-laki itu. “Siapa ya?” masih dengan wajah terkejut, suara Gita
terdengar seperti takut.
“Tenang,
aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya ingin duduk di sebelahmu, boleh?”
Gita
memandangi laki-laki itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Berkali-berkali
terdengar helaan napas dari Gita, ia tampak gugup dan takut. Namun setelah
beberapa menit terdiam, Gita akhirnya membuka suara. “Bo...boleh.” Gita mencoba
tersenyum.
Perlahan
laki-laki itu duduk di samping Gita. Baru kali ini ia di hampiri seorang
laki-laki, biasanya tidak ada yang memperhatikannya sama sekali. Jangannya
dilihat, dilirik saja tidak. Semua orang sibuk dengan urusan masing-masing,
tapi kenapa sekarang ada yang menghampirinya? Itulah yang sedang dipikirkan
oleh Gita.
“Setiap
hari aku lihat, kamu selalu duduk di bawah pohon ini dan hanya memandangi
danau. Apa ini memang hobby bagimu?” Laki-laki itu bertanya dengan sedikit
ragu.
Gita
yang tak menyangka mendapat pertanyaan seperti itu, hanya bisa membeku di
tempat. Setelah tersadar, Gita mulai merubah ekspresi wajahnya. Walaupun tak
memungkiri kalau ia masih terlihat terkejut. “Apa aku begitu mencolok disini?
Sampai-sampai kamu memperhatikanku. Apa yang aku lakukan disini bukanlah
sesuatu yang penting untukmu, bukan begitu?” ucapan Gita terdengar menyindir.
Laki-laki
itu malah tersenyum. “Bukan begitu maksudku, aku hanya penasaran. Karena
kebanyakan perempuan yang kesini pasti lebih memilih untuk berfoto, atau lebih
memilih kesini bersama dengan orang spesial.”
“Kamu
sendiri kenapa memilih untuk mengurusi urusan orang lain?” ucapan Gita masih bernada
menyindir.
“Ah,
aku bukan ingin mengurusi urusan orang lain. Aku hanya penasaran, memangnya
tidak boleh?”
“Itu
sama saja kamu mengurusi orang lain. Lebih baik kamu urus dirimu sendiri.” Gita
bangkit berdiri, lalu berjalan meninggalkan laki-laki itu. Gita memilih untuk
pulang, daripada harus meladeni orang tidak jelas seperti tadi.
Laki-laki
yang menganggu Gita malah menyunggingkan senyum yang lebar. Perempuan yang membuatku tertarik, sudah
didekati dan membuat penasaran. Aku sudah terlanjur jatuh cinta, jadi nanti
pasti aku bisa mendapatkanmu. Ucap laki-laki itu dalam hati. Ia memutuskan
untuk pulang juga.
********
Seperti
biasa, Gita terlihat sudah ada di dekat danau. Ia berharap tidak bertemu
laki-laki yang kemarin. Gita benar-benar membenci laki-laki, sedikit pun tak
ada niat untuk bisa memiliki laki-laki spesial dalam hidupnya. Walaupun tak
dipungkiri kalau dia memang membutuhkan seorang pendamping suatu saat nanti.
Harapan Gita musnah, ketika laki-laki yang kemarin duduk di sampingnya. Dengan
wajah yang ceria, laki-laki itu menyunggingkan sebuah senyum termanis yang dia
miliki.
“Hai...”
sapa laki-laki itu. “Aku tidak mengganggu kan?” masih dengan tersenyum,
laki-laki itu memperhatikan ekspresi Gita.
Gita
yang diperhatikan, segera memalingkan wajahnya. “Kamu sangat mengganggu dan
sangat menyebalkan. Bisakah kamu pergi dari sini? Atau aku saja yang pergi?
Baiklah, aku saja yang pergi.” Gita langsung bangkit dari duduknya.
Sebelum
Gita melangkah, laki-laki itu menarik lengan Gita. Sehingga Gita berhenti tanpa
menghadap laki-laki itu. “Boleh aku tau namamu? Aku Gio, aku hanya ingin
berteman denganmu, memangnya tidak boleh?”
Gita
sama sekali tidak bergerak dari posisinya, bibir Gita rasanya tidak kuat untuk
berkata-kata. “Tidak.” Hanya itu yang mampu diucapkan Gita. “Bisa kamu lepaskan
tanganku?” terdengar penekanan dalam kalimat Gita.
Gio
perlahan melepaskan tangan Gita, lalu Gita segera berlari meninggalkan Gio.
Untuk kedua kalinya Gio ditolak secara terang-terangan. Selama ini Gio yang
selalu menghindari gadis, tapi saat dia sudah menemukan gadis yang menarik
perhatiannya, dia harus menerima penolakan. Sepertinya Gio memang harus
memperjuangkan gadia yang belum dia ketahui namanya itu. Dengan langkah gontai,
Gio pergi dari tempat itu. Ia bertekad, besok harus bisa mendekati gadis
pujaannya itu.
Sementara
itu, Gita yang berlari sama sekali tidak menghentikan larinya. Ia terus
berlari, berlari dan berlari tak tentu arah. Sampai akhirnya dia sampai di
depan sebuah rumah. Rumah yang dulu pernah ia tinggali bersama orang tuanya.
Rumah yang sekarang bukan lagi tempat tinggalnya, masih terlihat sangat
terawat. Itu pasti karena Ayah dan istri barunya merawat rumah itu dengan baik.
Gita
menghela napas, ia tidak tahu kenapa malah ke rumah itu bukan ke rumah yang
sekarang ia tinggali bersama ibunya. Gita memandangi rumah itu, ingatannya
langsung kembali pada kejadian beberapa tahun lalu saat ia masih duduk di
bangku sekolah dasar. Dulu ia sering sekali bermain di taman kecil di samping
rumah. Disana Ayahnya membuatkannya ayunan dari kayu, ayunan yang membuatnya
bahagia karena Ayahnya selalu menemaninya bermain. Dulu keluarganya sangat
bahagia, ia dibesarkan dengan kasih sayang. Tapi tidak, setelah ia menginjak
usia 15 tahun. Semuanya berubah seperti berada di dalam neraka penuh siksaan.
Hampir setiap hari orang tuanya bertengkar, saling membentak dan saling tidak
peduli dengan dirinya. Waktu itu yang Gita dengar pertengkaran orang tuanya
karena Ibunya dianggap tidak bisa mengurus rumah dengan baik. Namun, jauh dari
pemikiran Gita, orang tuanya bertengkar karena Ayahnya yang berselingkuh.
Gita
memejamkan mata, berusaha melupakan semua kenangan itu. Ia mengatur napasnya
agar tidak mengeluarkan air mata. Tapi usahanya gagal, air mata itu telah jatuh
membasahi kedua pipi cantiknya. Saat menangis itulah, tiba-tiba muncul seorang
perempuan paruh baya dari dalam rumah. Perempuan itu memperhatikan Gita, lalu
berjalan menghampirinya. Gita yang masih menangis, segera menghapus air matanya
begitu mengetahui kehadiran seseorang.
“Cari
siapa ya, dik?” perempuan itu bertanya ke Gita. Gita menebak bahwa perempuan
itu istri baru Ayahnya. Gita memang tidak pernah bertemu dengan istri Ayahnya,
bahkan sama sekali ia tidak ingin bertemu. Tapi, sekarang keadaannya berbeda.
Ia sendiri yang telah datang ke rumah itu dan mau tak mau memang harus bertemu
perempuan perebut Ayahnya.
Setelah
beberapa menit terdiam, Gita membuka suaranya. “Tidak cari siapapun. Aku hanya
kebetulan lewat, permisi.” Gita ingin cepat meninggalkan rumah itu.
Namun,
baru beberapa langkah perempuan itu memanggilnya. “Tunggu!” Gita menghentikan
langkah, tidak berbalik. “Kamu Gita, bukan? Kamu cari Ayahmu? Sayang sekali
Ayahmu sudah meninggal 1 tahun lalu. Aku adik dari Ayahmu.”
Deg!
Gita terkejut, ia tidak bisa bergerak dari tempatnya. Badannya terasa kaku,
sehingga sulit digerakkan.
*********
Disini
lah Gita sekarang, di pemakaman Ayahnya. Bibinya sudah menceritakan semuanya.
Selama ini Gita dan Ibunya hanya salah paham. Ayahnya bukan berselingkuh,
tetapi Ayahnya sakit dan menyembunyikan itu darinya juga dari Ibunya. Ayahnya mengidap
kanker otak stadium empat, penyakit yang sangat ganas. Setelah mengetahui
penyakit itu, Ayahnya memilih untuk tidak memberitahu siapapun kecuali Bibinya.
Ayahnya tidak ingin membuat orang yang dicintainya bersedih.
Sesudah
perceraian itu Ayahnya sering di rawat di rumah sakit, mengikuti segala macam
pengobatan. Namun, tidak membuahkan hasil. Ayahnya tetap tidak bisa tertolong,
walaupun selama empat tahun berusaha melawan penyakitnya. Kini Gita hanya bisa
menangis, ia telah salah membencinya Ayahnya. Harusnya ia tidak membenci Ayah
yang telah rela berkorban untuk keluarganya. Penyesalan memang datang
terlambat, bahkan Gita tidak bisa melihat Ayahnya untuk terakhir kali.
“Ayah,
maafkan Gita. Kalau Gita tahu Ayah sakit, Gita tak akan pernah membenci Ayah.
Selama ini Gita telah berbuat salah, Gita tak menyangka Ayah akan seperti ini.”
Gita berkata di sela-sela isak tangisnya.
Masih
dengan menangis, Gita bangkit dan perlahan melangkah pergi dari pemakaman itu.
Ia sudah tidak sanggup berlama-lama disana. Gita ingin memberitahu Ibunya
kebenaran yang baru saja ia ketahui. Dengan langkah yang sangat lambat, Gita
berjalan menyusuri setiap jalan untuk sampai di rumahnya.
Sesampainya di rumah, Ibunya khawatir
melihat Gita yang seperti mayat hidup. Matanya bengkak kemerahan, berjalan
dengan gontai, pandangannya kosong. Ibunya segera membawa Gita ke kamarnya.
Belum sempat Ibunya meninggalkan kamar, Gita bersuara. “Ayah sudah meninggal.”
Ibunya
terkejut dengan ucapan Gita, membuatnya kembali duduk di samping Gita yang
berbaring. “Apa maksud kamu?” Ibu mengeryitkan dahi.
“Kita
telah salah paham, Ayah tidak selingkuh. Tapi, Ayah sakit kanker otak stadium
empat. Ayah tidak ingin kita mengetahuinya, itulah yang membuatnya mencari
alasan agar bisa bercerai dengan Ibu. Satu tahun lalu Ayah meninggal karena
penyakitnya itu.” Hanya dengan sau kali tarikan napas, Gita mengucapkannya
dengan suara lirih.
“APA????”
Ibu membulatkan matanya. “Tidak mungkin!!! Kamu bohong kan, Gita?” Ibu tidak
bisa menahan air matanya yang mengalir deras.
Untuk
beberapa saat hanya terdengar isak tangis Ibunya, Gita hanya diam. Ia sudah
lelah menangis terus. “Aku lihat sendiri makamnya, Bu. Ayah melakukan ini
karena Beliau tidak ingin membuat kita bersedih.” Hanya itu yang diucapkan
Gita.
********
Keesokan
paginya, Ibu pergi ke makam sendiri. Gita memilih untuk di rumah saja. Kemarin
ia sudah berkunjung kesana, kini biarkan Ibunya yang berkunjung sendiri. Dari
semalam Gita tidak keluar kamar, makan pun tidak. Ia merasa sangat menyesal
telah membenci Ayahnya sendiri. Ia tidak tahu harus bagaimana sekarang. Gita
bangkit dari tempat tidurnya, ia berjalan menuju pintu. Tujuannya sekarang
tempat kesukaannya, danau. Hanya disana ia merasa tenang.
Danau
masih terlihat sepi, hanya ada beberapa pengunjung. Benar saja, sekarang baru
pukul 2 siang, masih belum waktunya banyak pengunjung. Dengan begitu, Gita akan
merasa lebih tenang lagi. Gita bersandar pada pohon, kakinya ditekuk agar bisa
memeluknya. Pandangannya tertuju ke danau yang sangat indah.
Tanpa
diketahui Gita, ada seseorang yang memperhatikannya. Orang itu Gio. Perlahan
Gio menghampiri Gita, ia ingin menghiburnya. Gita terlihat sangat buruk, rambut
panjangnya tidak tersisir dengan rapi, hanya diikat kuncir kuda. Matanya
bengkak. Gio tidak tega melihat Gita seperti itu.
“Maaf
menganggu lagi.” Gio langsung duduk di samping Gita. Gita tidak memberikan
respon apapun, ia hanya diam. “Kamu lagi ada masalah? Aku bersedia menjadi
tempat keluh kesahmu. Keluarkanlah semua yang mengganjal di hatimu, aku tak
akan mengejekmu. Aku akan menjadi pendengar yang baik.” Tanpa memandang Gita,
Gio mengucapkan semua itu.
Gita
langsung bereaksi, ia menoleh ke Gio. Tanpa berkata apapun, Gita menyandarkan
kepalanya di pundak Gio. Gio yang terkejut langsung menoleh, tapi membiarkan
Gita seperti itu. Perlahan Gita menangis, Gio tetap diam menunggu cerita dari
Gita. “A–aku telah membenci Ayahku yang tak seharusnya aku benci.” Gita
berhenti sejenak untuk mengatur napasnya. “Ayahku sudah berkorban untukku dan
Ibuku, tapi aku malah membencinya. Aku baru tahu kalau Ayahku meninggal karena
sakit, padahal aku tahunya Ayahku selingkuh dan memutuskan untuk bercerai. Apa
yang aku anggap benar, ternyata semuanya salah.” Tangis Gita semakin jadi.
Entah kenapa Gita bisa bercerita selancar itu dengan orang yang belum ia kenal.
Mungkin sekarang Gita memang membutuhkan seseorang untuk disampingnya. Gio kini
melingkarkan tangannya untuk merengkuh tubuh Gita yang lemah.
Gio
membiarkan Gita menangis dalam pelukannya, sampai Gita tenang baru Gio mulai
bersuara. “Kenyataan dan kebenaran memang kadang sangatlah menyakitkan, tapi
apa yang sudah terjadi tidak mungkin bisa diulang lagi. Sekarang yang harus
kita lakukan adalah ikhlas menerima apapun kenyataan di hadapan kita. Jangan
menyalahkan diri terus menerus, semua sudah ada yang mengaturnya. Lebih baik
kamu mendoakan Ayahmu, daripada harus menangis.” Gio melepaskan pelukannya,
lalu menghapus sisa air mata gita.
“Sudah
jangan menangis lagi, tidak ada yang perlu disesali. Tersenyumlah!” Gio menarik
kedua ujung bibir Gita, agar Gita mau tersenyum. Perlahan Gita menyunggingkan
senyum, Gio pun ikut tersenyum.
********
Setelah
pertemuan di danau itu, Gio sekarang bisa dekat dengan Gita. Hari-hari Gita
yang dulu berkabut, kini sudah mulai cerah kembali. Gio mampu membuat Gita
bangkit dari semua masalahnya. Bahkan sekarang mereka sudah resmi menjadi
sepasang kekasih yang akan menikah. Cinta memang butuh sebuah kepercayaan dan
pengorbanan. Itulah yang membuat Gita mau menerima Gio, hanya Gio yang dia
percaya untuk membuat hidupnya menjadi lebih bahagia.
End