Sabtu, 27 Februari 2016

cerpen~Ketulusan Ibu



Ketulusan Ibu

            Tak ada yang mau terlahir dengan tidak sempurna. Semua Ibu pasti menginginkan anaknya lahir dengan sempurna, namun tidak dengan Nara. Sejak lahir Nara hanya memiliki satu tangan, yang membuat Ibunya bersedih. Tangan yang dimiliki Nara hanya sebelah kanan, yang sebelah kiri sama sekali tidak ada. Ibunya selalu merawat Nara dengan sabar, mencoba untuk menerima sebuah kenyataan yang tidak mudah.
            Sampai sekarang disaat Nara sudah menginjak usia 17 tahun, Ibunya masih terus membantu Nara melakukan kegiatan yang sulit bagi Nara. Ayah Nara sudah meninggal beberapa tahun lalu, sekarang Ibunya yang bekerja untuk kelanjutan hidup mereka. Walaupun harus bekerja, Ibu tetap bisa merawat Nara dengan baik.
            Seperti malam ini, Ibu membantu Nara mengambil makan malamnya. Mereka makan malam dengan kesunyian. Setelah makan, Nara ingin membantu Ibu membereskan semua piring, namun Ibu tidak memperbolehkannya. Nara hanya bisa mengikuti Ibunya sampai dapur.
            “Ibu, terima kasih selama ini sudah mau merawat Nara. Maafkan Nara yang menyusahkan Ibu.” Nara memandang Ibunya dengan mata berkaca-kaca.
            “Jangan bilang seperti itu nak, kamu tidak pernah menyusahkan Ibu. Ibu beruntung punya anak seperti kamu yang tidak mudah menyerah.” Ibu mengusap kepala Nara, sambil tersenyum.
            “Tapi aku tidak seperti anak yang lain Bu, aku tidak sempurna.” Nara menundukkan kepalanya, air matanya jatuh.
            Ibu merasa tersayat mendengar ucapan Nara. Selama ini Ibu tidak pernah mengungkit tentang ketidak sempurnaan Nara. Ibu ikhlas melakukan apapun untuk Nara. “Tidak Nara, bagi Ibu Nara adalah anak yang sempurna. Karena Nara memiliki semua yang dimiliki orang lain. Walaupun hanya memiliki satu tangan, tapi Nara tetap memiliki tangan, bukan? Tetaplah menjadi Nara yang kuat, jangan pernah bersedih lagi. Ibu akan selalu ada bersamamu.” Ibu tersenyum, yang membuat Nara ikut tersenyum.
            “Terima kasih, Bu. Ibu memang yang terbaik.” Nara memeluk Ibu. Sejenak suasana menjadi hening. Mereka menikmati pelukan penuh kasih sayang tersebut.
             Ibu melepaskan pelukan itu. “Sudah ya Nara, jangan berpikiran seperti itu lagi. sekarang Nara ke kamar, belajar yang rajin agar Ibu tambah bangga sama kamu.”
            Dengan perasaan terharu, Nara pergi ke kamarnya. Di dalam kamar, ia memikirkan omongan Ibunya tadi. Apa yang dikatakan Ibunya, membuat Nara sadar akan sebuah ketulusan dari seorang Ibu. Ia tidak pernah menyangka akan terlahir tidak sempurna, namun di balik ketidaksempurnaan itulah yang membuatnya menyadari hal paling berharga. Tidak ada yang bisa menggantikan posisi seorang Ibu untuk anak-anaknya.
            Nara akhirnya tertidur, ia terlaluh lelah untuk memikirkan balas budi terhadap semua yang sudah Ibunya lalukan untuknya.
--------------
            Pagi ini Nara pergi sekolah seperti biasa, diantar oleh Ibu. Meskipun Nara memiliki kekurangan, ia memiliki banyak teman yang selalu ada saat dia membutuhkan. Nara sangat beruntung memiliki orang-orang yang sayang dan peduli dengan dia, terutama Ibunya yang tak pernah lelah menjaga dan merawatnya sampai sebesar ini.
            Nara berjalan dari gerbang sekolah menuju kelasnya. Saat ia sampai di depan pintu kelas, terdengar suara seseorang menyapanya. “Selamat pagi, Nara.” Suara Dea, salah satu teman Nara.
            Melihat Nara yang di ambang pintu, teman-temannya menghampiri. “Selamat pagi, Dea.” Nara tersenyum melihat teman-temannya mendatanginya.
            “Kamu sudah kasih apa ke Ibumu?” sekarang Sevi yang bertanya.
            “Maksudnya?” Nara tidak mengerti ucapan Sevi.
            “Loh hari ini kan hari Ibu. Kamu lupa Nara?” Lisa menyahut.
            “Sekarang tanggal berapa? Aku benar-benar lupa. Aku belum mempersiapkan apapun. Bagaimana ini?” Nara terlihat sedih, ia sudah melupakan hal yang paling penting.
            “Kamu tenang aja, kita sudah punya ide. Iya, kan teman-teman?” Dea meengerling mata ke arah semua temannya.
            “Ide apa?” Nara masih terlihat sedih, suaranya terdengar sangat lirih.
            “Kamu nanti bikin video tentang rasa sayangmu ke Ibumu. Nanti kita semua akan bantu, iya, kan teman-teman?” Dea dengan semangatnya memberi masukan untuk Nara.
            “Iya, kita akan bantu.” Kompak suara kedua temannya.
            “Tapi, apa itu saja sudah cukup untuk aku berikan Ibuku?” Nara masih menimbang-nimbang ide dari Dea. Semua temannya memandang Nara penuh harap, Nara merasa tak enak hati. Ia akhirnya menyetujui ide itu. “Baiklah, aku akan buat video itu.” Tepat setelah mengucapkan itu, bel masuk berbunyi. Mereka membubarkan diri untuk mengikuti pelajaran.
---------------
            Se[ulang sekolah, Nara dijemput Ibunya. Nara tak masuk kamar, ia malah mengajak Ibunya ke ruang tamu. Ibunya yang bingung tetap mengikuti keinginan Nara. Di ruang tamu, Nara membuka ponselnya mencari-cari video yang telah dibuatnya tadi waktu jam istirahat.
            “Kamu cari apa, Nara?” Ibu menatap Nara dengan wajah bingung. Alisnya saling bertaut. “Kenapa mengajak Ibu ke sini? Kamu harus ganti baju dulu, ayo ke kamar saja.”
            Ibu hendak berdiri, namun suara Nara menghentikannya. “Disini saja, Bu. Ada yang mau Nara tunjukan untuk Ibu.” Nara menyerahkan ponselnya ke Ibu. “Ini, coba Ibu lihat. Aku harap Ibu menyukainya.”
            Ibu memperhatikan layar ponsel dengan teliti. Setiap kata-kata yang diucapkan Nara, membuat Ibu perlahan meneteskan air mata. Tangan kanan Ibu memegang ponsel, sedangkan tangan kiri sibuk menyeka air mata yang sudah membanjiri wajahnya. Nara terus memperhatikan setiap ekspresi maupun gerak-gerik Ibunya. sekitar 5 menit video itu berputar, dan berhenti dengan sendirinya.
            Ibu tak kuasa lagi, Nara langsung dipeluknya. Kata yang diucapkan Nara dalam video itu sangat sederhana.
            Selamat Hari Ibu, terima kasih telah menjadi Ibu yang terbaik untuk Nara. Nara sangat menyayangi Ibu, Nara sangat bersyukur memiliki Ibu yang rela melakukan apapun untuk Nara. Nara sangat bahagia. Walaupun Nara bukan anak norma, ketulusan Ibu sudah membuat Nara bertahan sampai sekarang. Nara akan selalu mendoakan Ibu, akan selalu rajin belajar untuk membuat Ibu bangga dengan Nara. -I Love You, Mom-
            Kalimat sederhana itulah yang membuat Ibu terharu. Perlahan, Ibu melepaskan pelukannya. “Nara, kamu anak Ibu yang sangat Ibu sayangi. Terima kasih, nak.” Ibu tidak bisa mengucapkan apapun lagi.
            Nara mengerti, Ibunya selama ini tidak pernah mengeluh dengan keadaannya. Ibunya selalu tersenyum di depannya. Ibu memang tak pernah kenal lelah merawat anak-anaknya, seberapa buruknya anak, Ibu akan tetap selalu menyayanginya. Tidak ada yang bisa menggantikan kasih sayang, ketulusan, kesabaran dan keikhlasan seorang Ibu.
            “Nara yang harus berterima kasih, Bu. Nara hanya bisa memberikan ini, masih jauh untuk bisa membalas ketulusan Ibu. Selamat Hari Ibu.” Nara tersenyum, mencium kedua pipi Ibunya. Lalu menghapus air mata yang masih belum berhenti menetes.
            Keduanya pun akhirnya tersenyum bersama dalam suasana terharu.

cerpen~Late Truth



Late Truth
            Setiap sore, terlihat ada seorang gadis yang menghabiskan waktunya di pinggir danau yang berada di tengah-tengah sebuah taman. Taman yang memiliki berbagai macam tanaman, beberapa tempat bermain untuk anak-anak, dan ada beberapa hewan yang cantik. Taman yang hampir setiap sudut ada pohon besar, bisa untuk berteduh di bawahnya. Gadis itu selalu berada di bawah pohon yang menghadap langsung ke danau. Entah apa yang dilakukan, ia hanya terlihat duduk bersandar dan memandangi danau sendirian. Ia datang pukul 3 sore dan pulang pukul 5 sore saat taman itu tutup.
            Gadis itu bernama Gita. Sudah beberapa tahun terakhir dia menjadi pengunjung tetap taman berdanau tersebut. Menurutnya air danau yang tenang akan membuat pikirannya tenang. Untuk seorang gadis yang memiliki banyak masalah seperti Gita, lebih baik memang menghabiskan waktu untuk menenangkan pikiran. Dibandingkan menghabiskan waktu dengan hal-hal yang merugikan.
            Beberapa tahun lalu Gita harus menelan rasa kecewa sekaligus benci, karena Ayahnya dengan mudahnya meninggalkan dia dan Ibunya. Alasannya sangat tidak masuk akal, hanya karena Ibunya sudah tidak bisa mengurus rumah dengan baik. Setiap hari Ayahnya mengeluh karena rumah yang selalu kurang bersih. Gita merasa itu hanya sebuah alasan yang dibuat-buat, buktinya setelah orang tuanya resmi bercerai, Ayahnya menikah lagi dengan wanita lain. Gita waktu itu masih berumur 15 tahun, masih belum cukup mengerti apa yang terjadi. Sekarang Gita sudah menginjak 20 tahun, sudah sangat mengerti yang terjadi dengan orang tuanya.
            Walaupun orang tuanya berpisah, Gita masih bisa bersekolah hingga SMA. Ibunya selalu berusaha bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Ibunya tidak pernah mengeluh dengan keadaan, selalu tersenyum dan tampak bahagia. Namun, Gita tahu kalau Ibunya sangat tersakiti. Semenjak itulah Gita sangat membenci keberadaan laki-laki, ia tidak mau memiliki nasib sama seperti Ibunya. Sampai sekarang Gita belum pernah dekat dengan laki-laki, atau lebih cenderung menghindari laki-laki.
            “Permisi!” Gita yang sedang duduk memandangi danau, dikejutkan sebuah suara laki-laki yang tiba-tiba ada di sampingnya.
Spontan Gita menoleh ke sumber suara. Gita mengernyitkan dahi, sama sekali merasa tidak mengenal laki-laki itu. “Siapa ya?” masih dengan wajah terkejut, suara Gita terdengar seperti takut.
“Tenang, aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya ingin duduk di sebelahmu, boleh?”
Gita memandangi laki-laki itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Berkali-berkali terdengar helaan napas dari Gita, ia tampak gugup dan takut. Namun setelah beberapa menit terdiam, Gita akhirnya membuka suara. “Bo...boleh.” Gita mencoba tersenyum.
Perlahan laki-laki itu duduk di samping Gita. Baru kali ini ia di hampiri seorang laki-laki, biasanya tidak ada yang memperhatikannya sama sekali. Jangannya dilihat, dilirik saja tidak. Semua orang sibuk dengan urusan masing-masing, tapi kenapa sekarang ada yang menghampirinya? Itulah yang sedang dipikirkan oleh Gita.
“Setiap hari aku lihat, kamu selalu duduk di bawah pohon ini dan hanya memandangi danau. Apa ini memang hobby bagimu?” Laki-laki itu bertanya dengan sedikit ragu.
Gita yang tak menyangka mendapat pertanyaan seperti itu, hanya bisa membeku di tempat. Setelah tersadar, Gita mulai merubah ekspresi wajahnya. Walaupun tak memungkiri kalau ia masih terlihat terkejut. “Apa aku begitu mencolok disini? Sampai-sampai kamu memperhatikanku. Apa yang aku lakukan disini bukanlah sesuatu yang penting untukmu, bukan begitu?” ucapan Gita terdengar menyindir.
Laki-laki itu malah tersenyum. “Bukan begitu maksudku, aku hanya penasaran. Karena kebanyakan perempuan yang kesini pasti lebih memilih untuk berfoto, atau lebih memilih kesini bersama dengan orang spesial.”
“Kamu sendiri kenapa memilih untuk mengurusi urusan orang lain?” ucapan Gita masih bernada menyindir.
“Ah, aku bukan ingin mengurusi urusan orang lain. Aku hanya penasaran, memangnya tidak boleh?”
“Itu sama saja kamu mengurusi orang lain. Lebih baik kamu urus dirimu sendiri.” Gita bangkit berdiri, lalu berjalan meninggalkan laki-laki itu. Gita memilih untuk pulang, daripada harus meladeni orang tidak jelas seperti tadi.
Laki-laki yang menganggu Gita malah menyunggingkan senyum yang lebar. Perempuan yang membuatku tertarik, sudah didekati dan membuat penasaran. Aku sudah terlanjur jatuh cinta, jadi nanti pasti aku bisa mendapatkanmu. Ucap laki-laki itu dalam hati. Ia memutuskan untuk pulang juga.
********
Seperti biasa, Gita terlihat sudah ada di dekat danau. Ia berharap tidak bertemu laki-laki yang kemarin. Gita benar-benar membenci laki-laki, sedikit pun tak ada niat untuk bisa memiliki laki-laki spesial dalam hidupnya. Walaupun tak dipungkiri kalau dia memang membutuhkan seorang pendamping suatu saat nanti. Harapan Gita musnah, ketika laki-laki yang kemarin duduk di sampingnya. Dengan wajah yang ceria, laki-laki itu menyunggingkan sebuah senyum termanis yang dia miliki.
“Hai...” sapa laki-laki itu. “Aku tidak mengganggu kan?” masih dengan tersenyum, laki-laki itu memperhatikan ekspresi Gita.
Gita yang diperhatikan, segera memalingkan wajahnya. “Kamu sangat mengganggu dan sangat menyebalkan. Bisakah kamu pergi dari sini? Atau aku saja yang pergi? Baiklah, aku saja yang pergi.” Gita langsung bangkit dari duduknya.
Sebelum Gita melangkah, laki-laki itu menarik lengan Gita. Sehingga Gita berhenti tanpa menghadap laki-laki itu. “Boleh aku tau namamu? Aku Gio, aku hanya ingin berteman denganmu, memangnya tidak boleh?”
Gita sama sekali tidak bergerak dari posisinya, bibir Gita rasanya tidak kuat untuk berkata-kata. “Tidak.” Hanya itu yang mampu diucapkan Gita. “Bisa kamu lepaskan tanganku?” terdengar penekanan dalam kalimat Gita.
Gio perlahan melepaskan tangan Gita, lalu Gita segera berlari meninggalkan Gio. Untuk kedua kalinya Gio ditolak secara terang-terangan. Selama ini Gio yang selalu menghindari gadis, tapi saat dia sudah menemukan gadis yang menarik perhatiannya, dia harus menerima penolakan. Sepertinya Gio memang harus memperjuangkan gadia yang belum dia ketahui namanya itu. Dengan langkah gontai, Gio pergi dari tempat itu. Ia bertekad, besok harus bisa mendekati gadis pujaannya itu.
Sementara itu, Gita yang berlari sama sekali tidak menghentikan larinya. Ia terus berlari, berlari dan berlari tak tentu arah. Sampai akhirnya dia sampai di depan sebuah rumah. Rumah yang dulu pernah ia tinggali bersama orang tuanya. Rumah yang sekarang bukan lagi tempat tinggalnya, masih terlihat sangat terawat. Itu pasti karena Ayah dan istri barunya merawat rumah itu dengan baik.
Gita menghela napas, ia tidak tahu kenapa malah ke rumah itu bukan ke rumah yang sekarang ia tinggali bersama ibunya. Gita memandangi rumah itu, ingatannya langsung kembali pada kejadian beberapa tahun lalu saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Dulu ia sering sekali bermain di taman kecil di samping rumah. Disana Ayahnya membuatkannya ayunan dari kayu, ayunan yang membuatnya bahagia karena Ayahnya selalu menemaninya bermain. Dulu keluarganya sangat bahagia, ia dibesarkan dengan kasih sayang. Tapi tidak, setelah ia menginjak usia 15 tahun. Semuanya berubah seperti berada di dalam neraka penuh siksaan. Hampir setiap hari orang tuanya bertengkar, saling membentak dan saling tidak peduli dengan dirinya. Waktu itu yang Gita dengar pertengkaran orang tuanya karena Ibunya dianggap tidak bisa mengurus rumah dengan baik. Namun, jauh dari pemikiran Gita, orang tuanya bertengkar karena Ayahnya yang berselingkuh.
Gita memejamkan mata, berusaha melupakan semua kenangan itu. Ia mengatur napasnya agar tidak mengeluarkan air mata. Tapi usahanya gagal, air mata itu telah jatuh membasahi kedua pipi cantiknya. Saat menangis itulah, tiba-tiba muncul seorang perempuan paruh baya dari dalam rumah. Perempuan itu memperhatikan Gita, lalu berjalan menghampirinya. Gita yang masih menangis, segera menghapus air matanya begitu mengetahui kehadiran seseorang.
“Cari siapa ya, dik?” perempuan itu bertanya ke Gita. Gita menebak bahwa perempuan itu istri baru Ayahnya. Gita memang tidak pernah bertemu dengan istri Ayahnya, bahkan sama sekali ia tidak ingin bertemu. Tapi, sekarang keadaannya berbeda. Ia sendiri yang telah datang ke rumah itu dan mau tak mau memang harus bertemu perempuan perebut Ayahnya.
Setelah beberapa menit terdiam, Gita membuka suaranya. “Tidak cari siapapun. Aku hanya kebetulan lewat, permisi.” Gita ingin cepat meninggalkan rumah itu.
Namun, baru beberapa langkah perempuan itu memanggilnya. “Tunggu!” Gita menghentikan langkah, tidak berbalik. “Kamu Gita, bukan? Kamu cari Ayahmu? Sayang sekali Ayahmu sudah meninggal 1 tahun lalu. Aku adik dari Ayahmu.”
Deg! Gita terkejut, ia tidak bisa bergerak dari tempatnya. Badannya terasa kaku, sehingga sulit digerakkan.
*********
Disini lah Gita sekarang, di pemakaman Ayahnya. Bibinya sudah menceritakan semuanya. Selama ini Gita dan Ibunya hanya salah paham. Ayahnya bukan berselingkuh, tetapi Ayahnya sakit dan menyembunyikan itu darinya juga dari Ibunya. Ayahnya mengidap kanker otak stadium empat, penyakit yang sangat ganas. Setelah mengetahui penyakit itu, Ayahnya memilih untuk tidak memberitahu siapapun kecuali Bibinya. Ayahnya tidak ingin membuat orang yang dicintainya bersedih.
Sesudah perceraian itu Ayahnya sering di rawat di rumah sakit, mengikuti segala macam pengobatan. Namun, tidak membuahkan hasil. Ayahnya tetap tidak bisa tertolong, walaupun selama empat tahun berusaha melawan penyakitnya. Kini Gita hanya bisa menangis, ia telah salah membencinya Ayahnya. Harusnya ia tidak membenci Ayah yang telah rela berkorban untuk keluarganya. Penyesalan memang datang terlambat, bahkan Gita tidak bisa melihat Ayahnya untuk terakhir kali.
“Ayah, maafkan Gita. Kalau Gita tahu Ayah sakit, Gita tak akan pernah membenci Ayah. Selama ini Gita telah berbuat salah, Gita tak menyangka Ayah akan seperti ini.” Gita berkata di sela-sela isak tangisnya.
Masih dengan menangis, Gita bangkit dan perlahan melangkah pergi dari pemakaman itu. Ia sudah tidak sanggup berlama-lama disana. Gita ingin memberitahu Ibunya kebenaran yang baru saja ia ketahui. Dengan langkah yang sangat lambat, Gita berjalan menyusuri setiap jalan untuk sampai di rumahnya.
     Sesampainya di rumah, Ibunya khawatir melihat Gita yang seperti mayat hidup. Matanya bengkak kemerahan, berjalan dengan gontai, pandangannya kosong. Ibunya segera membawa Gita ke kamarnya. Belum sempat Ibunya meninggalkan kamar, Gita bersuara. “Ayah sudah meninggal.”
Ibunya terkejut dengan ucapan Gita, membuatnya kembali duduk di samping Gita yang berbaring. “Apa maksud kamu?” Ibu mengeryitkan dahi.
“Kita telah salah paham, Ayah tidak selingkuh. Tapi, Ayah sakit kanker otak stadium empat. Ayah tidak ingin kita mengetahuinya, itulah yang membuatnya mencari alasan agar bisa bercerai dengan Ibu. Satu tahun lalu Ayah meninggal karena penyakitnya itu.” Hanya dengan sau kali tarikan napas, Gita mengucapkannya dengan suara lirih.
“APA????” Ibu membulatkan matanya. “Tidak mungkin!!! Kamu bohong kan, Gita?” Ibu tidak bisa menahan air matanya yang mengalir deras.
Untuk beberapa saat hanya terdengar isak tangis Ibunya, Gita hanya diam. Ia sudah lelah menangis terus. “Aku lihat sendiri makamnya, Bu. Ayah melakukan ini karena Beliau tidak ingin membuat kita bersedih.” Hanya itu yang diucapkan Gita.
********
Keesokan paginya, Ibu pergi ke makam sendiri. Gita memilih untuk di rumah saja. Kemarin ia sudah berkunjung kesana, kini biarkan Ibunya yang berkunjung sendiri. Dari semalam Gita tidak keluar kamar, makan pun tidak. Ia merasa sangat menyesal telah membenci Ayahnya sendiri. Ia tidak tahu harus bagaimana sekarang. Gita bangkit dari tempat tidurnya, ia berjalan menuju pintu. Tujuannya sekarang tempat kesukaannya, danau. Hanya disana ia merasa tenang.
Danau masih terlihat sepi, hanya ada beberapa pengunjung. Benar saja, sekarang baru pukul 2 siang, masih belum waktunya banyak pengunjung. Dengan begitu, Gita akan merasa lebih tenang lagi. Gita bersandar pada pohon, kakinya ditekuk agar bisa memeluknya. Pandangannya tertuju ke danau yang sangat indah.
Tanpa diketahui Gita, ada seseorang yang memperhatikannya. Orang itu Gio. Perlahan Gio menghampiri Gita, ia ingin menghiburnya. Gita terlihat sangat buruk, rambut panjangnya tidak tersisir dengan rapi, hanya diikat kuncir kuda. Matanya bengkak. Gio tidak tega melihat Gita seperti itu.
“Maaf menganggu lagi.” Gio langsung duduk di samping Gita. Gita tidak memberikan respon apapun, ia hanya diam. “Kamu lagi ada masalah? Aku bersedia menjadi tempat keluh kesahmu. Keluarkanlah semua yang mengganjal di hatimu, aku tak akan mengejekmu. Aku akan menjadi pendengar yang baik.” Tanpa memandang Gita, Gio mengucapkan semua itu.
Gita langsung bereaksi, ia menoleh ke Gio. Tanpa berkata apapun, Gita menyandarkan kepalanya di pundak Gio. Gio yang terkejut langsung menoleh, tapi membiarkan Gita seperti itu. Perlahan Gita menangis, Gio tetap diam menunggu cerita dari Gita. “A–aku telah membenci Ayahku yang tak seharusnya aku benci.” Gita berhenti sejenak untuk mengatur napasnya. “Ayahku sudah berkorban untukku dan Ibuku, tapi aku malah membencinya. Aku baru tahu kalau Ayahku meninggal karena sakit, padahal aku tahunya Ayahku selingkuh dan memutuskan untuk bercerai. Apa yang aku anggap benar, ternyata semuanya salah.” Tangis Gita semakin jadi. Entah kenapa Gita bisa bercerita selancar itu dengan orang yang belum ia kenal. Mungkin sekarang Gita memang membutuhkan seseorang untuk disampingnya. Gio kini melingkarkan tangannya untuk merengkuh tubuh Gita yang lemah.
Gio membiarkan Gita menangis dalam pelukannya, sampai Gita tenang baru Gio mulai bersuara. “Kenyataan dan kebenaran memang kadang sangatlah menyakitkan, tapi apa yang sudah terjadi tidak mungkin bisa diulang lagi. Sekarang yang harus kita lakukan adalah ikhlas menerima apapun kenyataan di hadapan kita. Jangan menyalahkan diri terus menerus, semua sudah ada yang mengaturnya. Lebih baik kamu mendoakan Ayahmu, daripada harus menangis.” Gio melepaskan pelukannya, lalu menghapus sisa air mata gita.
“Sudah jangan menangis lagi, tidak ada yang perlu disesali. Tersenyumlah!” Gio menarik kedua ujung bibir Gita, agar Gita mau tersenyum. Perlahan Gita menyunggingkan senyum, Gio pun ikut tersenyum.
********
Setelah pertemuan di danau itu, Gio sekarang bisa dekat dengan Gita. Hari-hari Gita yang dulu berkabut, kini sudah mulai cerah kembali. Gio mampu membuat Gita bangkit dari semua masalahnya. Bahkan sekarang mereka sudah resmi menjadi sepasang kekasih yang akan menikah. Cinta memang butuh sebuah kepercayaan dan pengorbanan. Itulah yang membuat Gita mau menerima Gio, hanya Gio yang dia percaya untuk membuat hidupnya menjadi lebih bahagia.
End

Sabtu, 13 Februari 2016

cerpen~Two Thousand and Fifteen

Two Thousand and Fifteen
Tahun 2015, tahun yang banyak menyimpan kenangan berharga untukku. Tahun inilah awal aku merasakan bagaimana rasanya mencari uang sendiri. Biasanya aku hanya bergantung pada orang tua, tapi setelah aku lulus SMA aku memutuskan untuk bekerja. Walaupun hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhanku sendiri, paling tidak aku sudah sedikit meringankan beban Ibuku.
            Bekerja tidak semudah yang aku bayangkan, apalagi aku harus menghadapi berbagai macam karakter anak kecil. Ya, pekerjaan sebagai guru TK bukanlah hal mudah. Bahkan sebelumnya aku tidak tahu bagaimana cara mengajar anak-anak, maupun menyikapi tingkah laku mereka. Namun, aku berusaha untuk bisa melakukannya dengan baik. Walau hanya selama 6 bulan aku merasakan itu, sudah cukup membuatku memiliki pengalaman.
            Di tahun ini pula aku mencoba tes masuk perguruan tinggi negeri untuk kedua kalinya, dan gagal juga. Mungkin aku memang tidak ditakdirkan masuk perguruan tinggi impianku. Aku harus mengubur dalam-dalam impian yang dari dulu aku simpan.
            “Rena!” aku terkejut mendengar seseorang memanggilku. Ah ya, aku lupa kalau sekarang aku berada di rumah temanku. Aku sudah melamun tanpa menghiraukan temanku. Aku sampai tak sadar temanku sudah menunjukkan ekspresi marah.
            “Dari tadi kamu dengerin aku cerita nggak?” Nesa, nama temanku itu.
            “Ah, maaf. Kamu cerita apa tadi?” Aku sedikit meringis melihat Nesa yang masih menunjukkan ekspresi marah. Aku langsung menundukkan kepala. “Maaf aku tadi sedang mikirin sesuatu.”
            “Memangnya kamu mikirin apa? Aku dari tadi sudah cerita panjang lebar tapi nggak kamu dengerin!” Nesa menghembuskan napas, tanda bahwa dia mulai jengah dengan sikapku.
            “Kamu pernah berpikir nggak, kalau dalam satu tahun ini kita sudah melewati banyak kenangan? Aku dari tadi mikirin kenangan apa saja yang sudah aku lewati selama hampir satu tahun ini.” Aku mengernyitkan dahi, setengah berpikir dan kembali melamun lagi.
            Belum sempat aku mulai melamun lagi, Nesa segera menanggapi perkataanku. “Memangnya kenapa kita harus memikirkan hal itu?” Nesa berhenti sejenak, sambil memperhatikanku. “Walaupun banyak yang sudah kita lewati, kita nggak harus mengingat semuanya kan? Apalagi kalau sampai kenangan itu salah satu kenangan terburuk, pasti kita akan lebih memilih melupakannya.”
            “Iya, kamu benar.” Aku hanya menyahut seperlunya. Aku lebih memilih untuk mengingat semua yang sudah aku lewati.
            Kalau ingat-ingat lagi, tahun ini aku sudah membuat keluargaku merasa bahagia. Karena aku menyetujui keputusan kakakku untuk kuliah di Tuban, kota kecil di Jawa Timur yang nantinya memaksaku untuk pindah kesana lagi. Aku dari kecil terbiasa di Surabaya, namun 4 tahun lalu aku harus pindah ke Tuban. Saat itu Ayahku meninggal dan harus dimakamkan di Tuban. Sekarang di akhir tahun 2015 ini aku harus tinggal lagi disana, setelah sempat 3 tahun kembali ke Surabaya. Ya, hidupku penuh dengan teka-teki. Aku tak pernah menyangka akan kembali ke kampung halaman kedua orang tuaku, tapi inilah takdirku.
            Semenjak aku daftar kuliah inilah, banyak sekali yang ingin aku lakukan sebelum aku pindah. Aku ingin menghabiskan banyak waktu dengan sahabat-sahabatku. Memanfaatkan waktuku untuk membaca banyak sekali novel, yang memang itu salah satu hobbyku. Berkunjung ke perpustakaan, hanya untuk meminjam novel. Pergi ke taman, hanya untuk berkumpul dengan sahabat. Karena aku sudah tidak bekerja lagi, makanya aku bisa menghabiskan waktu 4 bulan dengan sangat baik. Akhir tahun ini aku harus benar-benar meninggalkan Surabaya, sahabat dan orang spesial. Rasanya tak ingin aku meninggalkan semua itu.
            “Hei, Rena!!!” suara Nesa mengangetkanku, membuat semua kenangan itu hilang kembali.
            “Kamu bisa tidak, kalau tidak mengagetkanku????” suaraku meninggi karena sebal.
            Nesa menyipitkan matanya, perlahan dia mendekatiku. Wajahnya sangat dekat dengan wajahku. “Kamu sebenarnya kesini mau melamun atau mau membantuku??” setelah bertanya seperti itu, ia langsung menjauh dariku.
            Ah ya, aku melupakan fakta bahwa aku sekarang harus membantu Nesa. Ia di rumah sendiri, namun ia harus membuat kue untuk orang spesialnya. Dan sialnya, aku sudah terlanjur berjanji akan membantunya. Seharusnya aku tidak berjanji agar aku bisa leluasa mengenang peristiwa yang masih aku ingat. Sekarang sudah terjadi, mau tidak mau aku harus membantunya sebelum Nesa semakin marah. “Baiklah, aku bantu. Apa yang harus aku lakukan?”
            “Ikut aku ke dapur!” Tanpa menunggu jawabanku, Nesa sudah lebih dulu berjalan ke dapur.
            Nesa sibuk menyiapkan bahan dan peralatan untuk membuat kue, aku hanya membantu sesuai instruksinya. Setelah semua sudah siap, proses membuat kue pun dimulai.
----------------
            Sekitar 2 jam berkutat dengan kue, sekarang aku sudah bisa bersantai di ruang tamu rumah Nesa. Sementara Nesa masih sibuk menghias kue yang telah ia buat. Nesa tampak puas dengan kue hasil buatannya, karena Nesa memang pandai membuat kue. Tidak sepertiku yang sama sekali tidak bisa memasak apalagi membuat kue. Aku dan Nesa memang bertolak belakang. Aku yang disebut-sebut sebagai teman yang baik, tidak mudah marah dan suka membantu, tapi sedikitpun tidak bisa memasak. Sedangkan Nesa merupakan seorang yang pandai memasak dan mudah sekali kesal ataupun marah, hanya aku yang bisa membuatnya meredam kekesalan. Sudah hampir 5 tahun aku berteman dengannya, sejak kelas 1 SMA.
            Sudahlah aku tak mau memikirkan Nesa, biarkan saja dia sibuk sendiri. Lebih baik aku kembali melamun. Beberapa bulan yang lalu, aku mencoba untuk mengikuti sebuah lomba menulis cerpen. Entah dorongan darimana, aku tiba-tiba ingin sekali mengikuti lomba itu. Beberapa lomba langsung aku ikuti, walaupun tidak semuanya berhasil. Tapi aku cukup bahagia karena salah satu karyaku terpilih untuk dijadikan sebuah buku. Aku tidak pernah berharap lebih, aku waktu itu hanya iseng untuk mengisi waktu luangku selain membaca novel. Karena aku di rumah tidak memiliki kesibukan apapun, selain membantu Ibu membersihkan rumah. Mungkin keberhasilan inilah yang akan selalu aku ingat terus.
Waktu cepat sekali berlalu, sekarang bahkan sudah memasuki bulan Desember. Itu artinya tinggal menghitung hari aku akan pindah. Aku menghela napas, mulai berdiri di dekat jendela. Di luar sangat panas, matahari bersinar sangat terik. Walaupun sudah memasuki musim hujan, tapi di Surabaya masih terasa panas. Mungkin karena kota yang besar, polusi dimana-mana dan banyak industri yang berdiri di kota dengan penduduk yang sangat banyak.
Sepertinya sudah tak ada lagi kenangan yang aku lewati. Aku sangat bersyukur karena 1 tahun ini aku masih diberi kesempatan oleh Allah S.W.T untuk tetap menikmati indahnya dunia. Aku berharap di tahun berikutnya aku masih bisa melewatinya dengan baik.
Aku meninggalkan jendela dan menghampiri Nesa. Ternyata dia masih belum selesai menghias kue. Nesa memang orang yang teliti dalam melakukan hal apapun, jadi dia tidak akan membiarkan kuenya terlihat jelek. Aku semakin mendekat ke arahnya. “Nesa, aku pulang dulu, ya.” Nesa hanya melirikku sekilas. “Sudah sore, aku harus pulang. Kamu bisa kan menyelesaikan itu sendiri.” Aku menunjuk kue dengan daguku.
“Iya, pulanglah! Jangan ganggu aku, aku nggak bisa konsentrasi.”
Aku mengerucutkan bibir, aku langsung berbalik meninggalkan Nesa. Aku berjalan ke ruang tamu untuk mengambil tasku, lalu segera menuju pintu rumah untuk segera pulang.
End

Biodata
Rheya Krisma adalah nama pena dari Mariyam. Seorang gadis yang baru saja memulai menulis sebuah cerita dan mengikuti berbagai event menulis. Seseorang yang tidak mudah menyerah. Saat ini Mariyam belum memiliki kesibukan, selain membaca novel di rumah. Menurutnya, sehari tanpa membaca rasanya membosankan. Mariyam bisa dihubungi melalui facebook: Han Hye Sun Elf atau bisa kunjungi blognya mariyamkpopers.blogspot.com


Cerpen~My First Love

My First Love
            Bahagia, satu kata yang menjadi impian setiap manusia. Kata itu lah yang sedang dirasakan oleh Vina, gadis cantik yang sedang jatuh cinta. Perasaannya berbunga-bunga, bagaikan berada di surga yang indah. Inilah pertama kalinya Vina merasakan yang namanya jatuh cinta.
            Seorang laki-laki yang berhasil membuat Vina terpesona adalah kakak kelasnya. Laki-laki itu bernama Dimas, salah satu anggota OSIS di sekolahnya. Saat pertama melihat Dimas, Vina langsung menyukainya. Alasannya cukup sederhana, karena senyum Dimas yang menurutnya menenangkan hati.
Awal pertemuan mereka di sekolah baru Vina, sekolah yang akan membuat Vina bertemu dengan Dimas setiap hari. Walaupun awalnya ia harus menjalani serangkaian kegiatan MOS yang seharusnya menyebalkan, tak membuatnya merasa bosan. Mungkin ini yang disebut cinta itu buta.
Setelah kemarin pengarahan kegiatan MOS, hari ini MOS pun dimulai. Puisi yang telah disuruh membuatnya kemarin, sekarang harus dibacakan di depan semua peserta MOS dan anggota OSIS. Karena Vina terus memandangi Dimas, ia tak sadar bahwa sudah waktunya dia yang membacakan puisi.
            “Vina, kamu dipanggil tuh.” Salah satu temannya memberitahu.
            “Eh.. iya.” Dengan malas Vina maju ke depan, membacakan puisi yang sudah ia buat untuk Dimas.
            Semua orang kagum dengan puisi buatan Vina, bahkan Dimas ikut kagum dan tersenyum ke arah Vina. Seketika Vina langsung salah tingkah, ia bingung harus bagaimana menyembunyikan wajahnya yang merona. Dimas oh Dimas- gumam Vina.
            “Hei, kenapa melamun?” Tanya Dimas.
            “A.. ee.. tidak, aku tidak melamun. Aku hanya tak percaya puisiku disukai banyak orang.” Dengan gugup Vina menjawab asal, padahal dia malu karena sudah ketahuan memperhatikan Dimas.
            “Ooo begitu, yasudah kamu boleh duduk lagi.”
            “Iya kak.” Dengan menundukkan kepala, Vina kembali ke tempat duduknya.
            Sudah seharian Vina menjalani MOS, sekarang waktunya untuk pulang. Namun tiba-tiba ia melihat Dimas yang juga mau pulang, anehnya Dimas tidak terlihat tersenyum. Dia terlihat cuek dan jutek, padahal Vina mengira Dimas adalah laki-laki yang periang. Ah sudahlah, mungkin dia capek- gumam Vina dalam hati. Dengan langkah gontai, Vina menuju gerbang untuk pulang.
~~~~~
            Hari terus berganti, tak terasa kegiatan MOS telah selesai. Selama kegiatan MOS beberapa hari yang lalu, Vina sekarang tahu kalau Dimas bukan orang yang periang. Ia ternyata orang yang cuek apabila dengan orang yang belum akrab dengannya. Tapi kenapa waktu itu dia tersenyum kepada Vina? Bahkan, dia bicara sama Vina. Apa yang sebenarnya terjadi? Banyak pertanyaan yang muncul di kepala Vina.
            Semakin Vina mencoba untuk tak memikirkan hal itu, malah membuat Vina semakin penasaran. Ia terus mencari informasi tentang dimas, mulai dari bertanya teman-temannya sampai bertanya kakak kelas yang lain. Dan akhirnya terjawab sudah, Dimas ternyata menyukainya. Menurut teman Dimas, dia hanya akan tersenyum dengan teman, keluarga dan orang yang disukainya. Maka secara tidak langsung Dimas memang menyukai Vina.
            Setelah mengetahui itu, teman-teman Vina dan Dimas membantu mereka untuk lebih dekat. Hampir setiap hari mereka membuat rencana agar Vina dan Dimas bisa bertemu di kantin, taman, perpustakaan dan tempat-tempat yang lain. Vina dan Dimas sekarang menjadi lebih dekat, tak jarang mereka sudah berani bercanda berdua, seperti saat ini mereka ada di taman sekolah.
            “Kita kok jadi sering bertemu ya?” Dimas bertanya.
            “Entahlah kak, aku sendiri tak tahu. Mungkin sudah jodoh, hahaha.” Vina tertawa, padahal ia berharap itu memang kenyataan.
            “Ya bisa jadi kita berjodoh. Memangnya kamu mau berjodoh sama aku?” Dengan hati-hati Dimas bertanya lagi.
            “Kalau sudah jodoh ya kenapa gak mau, kan semua sudah ada yang mengatur.”
            “Kamu benar, semua sudah ada yang mengatur. Tapi kalau manusianya tak mau, kan takdir masih bisa berubah. Kamu mau jadi pacarku tidak? Mungkin ini terlalu cepat, tapi aku sudah tidak bisa menahan perasaan ini lama-lama. Sejak pertama melihatmu, aku sudah menyukaimu. Kamu tak perlu menjawab sekarang, aku tunggu jawabanmu besok ya. Sekarang aku pergi dulu, sampai ketemu besok.” Dimas pergi dengan melambaikan tangannya.
            Vina yang masih terkejut dengan ucapan Dimas, hanya bisa terbengong-bengong melihat sikap Dimas yang susah ditebak. Ia tak menyangka Dimas akan menyatakan perasaannya, disaat mereka baru mulai dekat selama 1 minggu. Benar-benar membingungkan- Vina bergumam sambil berjalan menuju kelasnya.
~~~~~~
            Hari ini Vina harus memberikan jawaban atas pernyataan Dimas kemarin. Semalaman Vina tidak bisa tidur karena memikirkan jawaban apa yang harus ia berikan. Walaupun Vina menginginkan menjadi pacar Dimas, tapi dia juga ragu kalau Dimas hanya berbohong. Sekarang dia sudah memutuskan untuk menjawab ‘iya’. Jam istirahat mereka bertemu di taman sekolah.
            “Bagaimana sudah dapat jawaban belum?”
            “Sudah kak. Aku mau jadi pacar kak Dimas.”
            “Benarkah? Kamu gak bohong kan?”
            “.......” Vina hanya mengangguk.
            “Terima kasih atas jawabanmu, aku senang karena kamu juga merasakan apa yang aku rasakan. Mulai sekarang kita resmi jadian, kamu janji akan selalu setia sama aku ya?”
            “Iya, aku juga senang kak. Aku janji akan setia sama kakak.”
            “Aku punya sesuatu buat kamu, tutup mata dulu ya.” Vina pun menutup matanya.
            “Buka matamu, ini buat kamu.” Dimas memberikan sebuah kalung dengan liontin hati.
            “Wah bagus banget kak, terima kasih.”
            “Aku pakaikan ya?”
            “.......” Vina mengangguk.
            “Nah sudah, kamu cantik banget pakai kalung itu. Pakai terus ya, jaga baik-baik kalungnya. Ini sebagai tanda jadian kita, I LOVE YOU Vina.”
            “I LOVE YOU TOO.” Dengan wajah bersemu, Vina menjawab.
            Semua berakhir dengan kebahagiaan, Vina dan Dimas sudah resmi menjadi sepasang kekasih. Mereka jadi lebih semangat untuk pergi sekolah, belajar bersama dan saling berbagi. Setiap hari terpancar senyum bahagia dari mereka berdua.

-End-


  
Biodata
Rheya Krisma adalah nama pena dari Mariyam. Seorang gadis yang baru saja memulai menulis sebuah cerita dan mengikuti berbagai event menulis. Seseorang yang tidak mudah menyerah. Saat ini Mariyam belum memiliki kesibukan, selain membaca novel di rumah. Menurutnya, sehari tanpa membaca rasanya membosankan. Mariyam bisa dihubungi melalui facebook: Han Hye Sun Elf atau bisa kunjungi blognya mariyamkpopers.blogspot.com