Sabtu, 13 Februari 2016

cerpen~Two Thousand and Fifteen

Two Thousand and Fifteen
Tahun 2015, tahun yang banyak menyimpan kenangan berharga untukku. Tahun inilah awal aku merasakan bagaimana rasanya mencari uang sendiri. Biasanya aku hanya bergantung pada orang tua, tapi setelah aku lulus SMA aku memutuskan untuk bekerja. Walaupun hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhanku sendiri, paling tidak aku sudah sedikit meringankan beban Ibuku.
            Bekerja tidak semudah yang aku bayangkan, apalagi aku harus menghadapi berbagai macam karakter anak kecil. Ya, pekerjaan sebagai guru TK bukanlah hal mudah. Bahkan sebelumnya aku tidak tahu bagaimana cara mengajar anak-anak, maupun menyikapi tingkah laku mereka. Namun, aku berusaha untuk bisa melakukannya dengan baik. Walau hanya selama 6 bulan aku merasakan itu, sudah cukup membuatku memiliki pengalaman.
            Di tahun ini pula aku mencoba tes masuk perguruan tinggi negeri untuk kedua kalinya, dan gagal juga. Mungkin aku memang tidak ditakdirkan masuk perguruan tinggi impianku. Aku harus mengubur dalam-dalam impian yang dari dulu aku simpan.
            “Rena!” aku terkejut mendengar seseorang memanggilku. Ah ya, aku lupa kalau sekarang aku berada di rumah temanku. Aku sudah melamun tanpa menghiraukan temanku. Aku sampai tak sadar temanku sudah menunjukkan ekspresi marah.
            “Dari tadi kamu dengerin aku cerita nggak?” Nesa, nama temanku itu.
            “Ah, maaf. Kamu cerita apa tadi?” Aku sedikit meringis melihat Nesa yang masih menunjukkan ekspresi marah. Aku langsung menundukkan kepala. “Maaf aku tadi sedang mikirin sesuatu.”
            “Memangnya kamu mikirin apa? Aku dari tadi sudah cerita panjang lebar tapi nggak kamu dengerin!” Nesa menghembuskan napas, tanda bahwa dia mulai jengah dengan sikapku.
            “Kamu pernah berpikir nggak, kalau dalam satu tahun ini kita sudah melewati banyak kenangan? Aku dari tadi mikirin kenangan apa saja yang sudah aku lewati selama hampir satu tahun ini.” Aku mengernyitkan dahi, setengah berpikir dan kembali melamun lagi.
            Belum sempat aku mulai melamun lagi, Nesa segera menanggapi perkataanku. “Memangnya kenapa kita harus memikirkan hal itu?” Nesa berhenti sejenak, sambil memperhatikanku. “Walaupun banyak yang sudah kita lewati, kita nggak harus mengingat semuanya kan? Apalagi kalau sampai kenangan itu salah satu kenangan terburuk, pasti kita akan lebih memilih melupakannya.”
            “Iya, kamu benar.” Aku hanya menyahut seperlunya. Aku lebih memilih untuk mengingat semua yang sudah aku lewati.
            Kalau ingat-ingat lagi, tahun ini aku sudah membuat keluargaku merasa bahagia. Karena aku menyetujui keputusan kakakku untuk kuliah di Tuban, kota kecil di Jawa Timur yang nantinya memaksaku untuk pindah kesana lagi. Aku dari kecil terbiasa di Surabaya, namun 4 tahun lalu aku harus pindah ke Tuban. Saat itu Ayahku meninggal dan harus dimakamkan di Tuban. Sekarang di akhir tahun 2015 ini aku harus tinggal lagi disana, setelah sempat 3 tahun kembali ke Surabaya. Ya, hidupku penuh dengan teka-teki. Aku tak pernah menyangka akan kembali ke kampung halaman kedua orang tuaku, tapi inilah takdirku.
            Semenjak aku daftar kuliah inilah, banyak sekali yang ingin aku lakukan sebelum aku pindah. Aku ingin menghabiskan banyak waktu dengan sahabat-sahabatku. Memanfaatkan waktuku untuk membaca banyak sekali novel, yang memang itu salah satu hobbyku. Berkunjung ke perpustakaan, hanya untuk meminjam novel. Pergi ke taman, hanya untuk berkumpul dengan sahabat. Karena aku sudah tidak bekerja lagi, makanya aku bisa menghabiskan waktu 4 bulan dengan sangat baik. Akhir tahun ini aku harus benar-benar meninggalkan Surabaya, sahabat dan orang spesial. Rasanya tak ingin aku meninggalkan semua itu.
            “Hei, Rena!!!” suara Nesa mengangetkanku, membuat semua kenangan itu hilang kembali.
            “Kamu bisa tidak, kalau tidak mengagetkanku????” suaraku meninggi karena sebal.
            Nesa menyipitkan matanya, perlahan dia mendekatiku. Wajahnya sangat dekat dengan wajahku. “Kamu sebenarnya kesini mau melamun atau mau membantuku??” setelah bertanya seperti itu, ia langsung menjauh dariku.
            Ah ya, aku melupakan fakta bahwa aku sekarang harus membantu Nesa. Ia di rumah sendiri, namun ia harus membuat kue untuk orang spesialnya. Dan sialnya, aku sudah terlanjur berjanji akan membantunya. Seharusnya aku tidak berjanji agar aku bisa leluasa mengenang peristiwa yang masih aku ingat. Sekarang sudah terjadi, mau tidak mau aku harus membantunya sebelum Nesa semakin marah. “Baiklah, aku bantu. Apa yang harus aku lakukan?”
            “Ikut aku ke dapur!” Tanpa menunggu jawabanku, Nesa sudah lebih dulu berjalan ke dapur.
            Nesa sibuk menyiapkan bahan dan peralatan untuk membuat kue, aku hanya membantu sesuai instruksinya. Setelah semua sudah siap, proses membuat kue pun dimulai.
----------------
            Sekitar 2 jam berkutat dengan kue, sekarang aku sudah bisa bersantai di ruang tamu rumah Nesa. Sementara Nesa masih sibuk menghias kue yang telah ia buat. Nesa tampak puas dengan kue hasil buatannya, karena Nesa memang pandai membuat kue. Tidak sepertiku yang sama sekali tidak bisa memasak apalagi membuat kue. Aku dan Nesa memang bertolak belakang. Aku yang disebut-sebut sebagai teman yang baik, tidak mudah marah dan suka membantu, tapi sedikitpun tidak bisa memasak. Sedangkan Nesa merupakan seorang yang pandai memasak dan mudah sekali kesal ataupun marah, hanya aku yang bisa membuatnya meredam kekesalan. Sudah hampir 5 tahun aku berteman dengannya, sejak kelas 1 SMA.
            Sudahlah aku tak mau memikirkan Nesa, biarkan saja dia sibuk sendiri. Lebih baik aku kembali melamun. Beberapa bulan yang lalu, aku mencoba untuk mengikuti sebuah lomba menulis cerpen. Entah dorongan darimana, aku tiba-tiba ingin sekali mengikuti lomba itu. Beberapa lomba langsung aku ikuti, walaupun tidak semuanya berhasil. Tapi aku cukup bahagia karena salah satu karyaku terpilih untuk dijadikan sebuah buku. Aku tidak pernah berharap lebih, aku waktu itu hanya iseng untuk mengisi waktu luangku selain membaca novel. Karena aku di rumah tidak memiliki kesibukan apapun, selain membantu Ibu membersihkan rumah. Mungkin keberhasilan inilah yang akan selalu aku ingat terus.
Waktu cepat sekali berlalu, sekarang bahkan sudah memasuki bulan Desember. Itu artinya tinggal menghitung hari aku akan pindah. Aku menghela napas, mulai berdiri di dekat jendela. Di luar sangat panas, matahari bersinar sangat terik. Walaupun sudah memasuki musim hujan, tapi di Surabaya masih terasa panas. Mungkin karena kota yang besar, polusi dimana-mana dan banyak industri yang berdiri di kota dengan penduduk yang sangat banyak.
Sepertinya sudah tak ada lagi kenangan yang aku lewati. Aku sangat bersyukur karena 1 tahun ini aku masih diberi kesempatan oleh Allah S.W.T untuk tetap menikmati indahnya dunia. Aku berharap di tahun berikutnya aku masih bisa melewatinya dengan baik.
Aku meninggalkan jendela dan menghampiri Nesa. Ternyata dia masih belum selesai menghias kue. Nesa memang orang yang teliti dalam melakukan hal apapun, jadi dia tidak akan membiarkan kuenya terlihat jelek. Aku semakin mendekat ke arahnya. “Nesa, aku pulang dulu, ya.” Nesa hanya melirikku sekilas. “Sudah sore, aku harus pulang. Kamu bisa kan menyelesaikan itu sendiri.” Aku menunjuk kue dengan daguku.
“Iya, pulanglah! Jangan ganggu aku, aku nggak bisa konsentrasi.”
Aku mengerucutkan bibir, aku langsung berbalik meninggalkan Nesa. Aku berjalan ke ruang tamu untuk mengambil tasku, lalu segera menuju pintu rumah untuk segera pulang.
End

Biodata
Rheya Krisma adalah nama pena dari Mariyam. Seorang gadis yang baru saja memulai menulis sebuah cerita dan mengikuti berbagai event menulis. Seseorang yang tidak mudah menyerah. Saat ini Mariyam belum memiliki kesibukan, selain membaca novel di rumah. Menurutnya, sehari tanpa membaca rasanya membosankan. Mariyam bisa dihubungi melalui facebook: Han Hye Sun Elf atau bisa kunjungi blognya mariyamkpopers.blogspot.com


Tidak ada komentar: