Two Thousand and Fifteen
Tahun
2015, tahun yang banyak menyimpan kenangan berharga untukku. Tahun inilah awal
aku merasakan bagaimana rasanya mencari uang sendiri. Biasanya aku hanya
bergantung pada orang tua, tapi setelah aku lulus SMA aku memutuskan untuk
bekerja. Walaupun hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhanku sendiri,
paling tidak aku sudah sedikit meringankan beban Ibuku.
Bekerja tidak semudah yang aku
bayangkan, apalagi aku harus menghadapi berbagai macam karakter anak kecil. Ya,
pekerjaan sebagai guru TK bukanlah hal mudah. Bahkan sebelumnya aku tidak tahu
bagaimana cara mengajar anak-anak, maupun menyikapi tingkah laku mereka. Namun,
aku berusaha untuk bisa melakukannya dengan baik. Walau hanya selama 6 bulan
aku merasakan itu, sudah cukup membuatku memiliki pengalaman.
Di tahun ini pula aku mencoba tes
masuk perguruan tinggi negeri untuk kedua kalinya, dan gagal juga. Mungkin aku
memang tidak ditakdirkan masuk perguruan tinggi impianku. Aku harus mengubur
dalam-dalam impian yang dari dulu aku simpan.
“Rena!” aku terkejut mendengar
seseorang memanggilku. Ah ya, aku lupa kalau sekarang aku berada di rumah
temanku. Aku sudah melamun tanpa menghiraukan temanku. Aku sampai tak sadar
temanku sudah menunjukkan ekspresi marah.
“Dari tadi kamu dengerin aku cerita nggak?” Nesa, nama temanku itu.
“Ah, maaf. Kamu cerita apa tadi?”
Aku sedikit meringis melihat Nesa yang masih menunjukkan ekspresi marah. Aku
langsung menundukkan kepala. “Maaf aku tadi sedang mikirin sesuatu.”
“Memangnya kamu mikirin apa? Aku
dari tadi sudah cerita panjang lebar tapi nggak
kamu dengerin!” Nesa menghembuskan napas, tanda bahwa dia mulai jengah dengan
sikapku.
“Kamu pernah berpikir nggak, kalau dalam satu tahun ini kita
sudah melewati banyak kenangan? Aku dari tadi mikirin kenangan apa saja yang
sudah aku lewati selama hampir satu tahun ini.” Aku mengernyitkan dahi,
setengah berpikir dan kembali melamun lagi.
Belum sempat aku mulai melamun lagi,
Nesa segera menanggapi perkataanku. “Memangnya kenapa kita harus memikirkan hal
itu?” Nesa berhenti sejenak, sambil memperhatikanku. “Walaupun banyak yang
sudah kita lewati, kita nggak harus
mengingat semuanya kan? Apalagi kalau sampai kenangan itu salah satu kenangan
terburuk, pasti kita akan lebih memilih melupakannya.”
“Iya, kamu benar.” Aku hanya
menyahut seperlunya. Aku lebih memilih untuk mengingat semua yang sudah aku
lewati.
Kalau ingat-ingat lagi, tahun ini
aku sudah membuat keluargaku merasa bahagia. Karena aku menyetujui keputusan
kakakku untuk kuliah di Tuban, kota kecil di Jawa Timur yang nantinya memaksaku
untuk pindah kesana lagi. Aku dari kecil terbiasa di Surabaya, namun 4 tahun
lalu aku harus pindah ke Tuban. Saat itu Ayahku meninggal dan harus dimakamkan
di Tuban. Sekarang di akhir tahun 2015 ini aku harus tinggal lagi disana,
setelah sempat 3 tahun kembali ke Surabaya. Ya, hidupku penuh dengan teka-teki.
Aku tak pernah menyangka akan kembali ke kampung halaman kedua orang tuaku,
tapi inilah takdirku.
Semenjak aku daftar kuliah inilah,
banyak sekali yang ingin aku lakukan sebelum aku pindah. Aku ingin menghabiskan
banyak waktu dengan sahabat-sahabatku. Memanfaatkan waktuku untuk membaca
banyak sekali novel, yang memang itu salah satu hobbyku. Berkunjung ke
perpustakaan, hanya untuk meminjam novel. Pergi ke taman, hanya untuk berkumpul
dengan sahabat. Karena aku sudah tidak bekerja lagi, makanya aku bisa
menghabiskan waktu 4 bulan dengan sangat baik. Akhir tahun ini aku harus
benar-benar meninggalkan Surabaya, sahabat dan orang spesial. Rasanya tak ingin
aku meninggalkan semua itu.
“Hei, Rena!!!” suara Nesa
mengangetkanku, membuat semua kenangan itu hilang kembali.
“Kamu bisa tidak, kalau tidak
mengagetkanku????” suaraku meninggi karena sebal.
Nesa menyipitkan matanya, perlahan
dia mendekatiku. Wajahnya sangat dekat dengan wajahku. “Kamu sebenarnya kesini
mau melamun atau mau membantuku??” setelah bertanya seperti itu, ia langsung
menjauh dariku.
Ah ya, aku melupakan fakta bahwa aku
sekarang harus membantu Nesa. Ia di rumah sendiri, namun ia harus membuat kue
untuk orang spesialnya. Dan sialnya, aku sudah terlanjur berjanji akan
membantunya. Seharusnya aku tidak berjanji agar aku bisa leluasa mengenang
peristiwa yang masih aku ingat. Sekarang sudah terjadi, mau tidak mau aku harus
membantunya sebelum Nesa semakin marah. “Baiklah, aku bantu. Apa yang harus aku
lakukan?”
“Ikut aku ke dapur!” Tanpa menunggu
jawabanku, Nesa sudah lebih dulu berjalan ke dapur.
Nesa sibuk menyiapkan bahan dan
peralatan untuk membuat kue, aku hanya membantu sesuai instruksinya. Setelah
semua sudah siap, proses membuat kue pun dimulai.
----------------
Sekitar 2 jam berkutat dengan kue,
sekarang aku sudah bisa bersantai di ruang tamu rumah Nesa. Sementara Nesa
masih sibuk menghias kue yang telah ia buat. Nesa tampak puas dengan kue hasil
buatannya, karena Nesa memang pandai membuat kue. Tidak sepertiku yang sama
sekali tidak bisa memasak apalagi membuat kue. Aku dan Nesa memang bertolak
belakang. Aku yang disebut-sebut sebagai teman yang baik, tidak mudah marah dan
suka membantu, tapi sedikitpun tidak bisa memasak. Sedangkan Nesa merupakan
seorang yang pandai memasak dan mudah sekali kesal ataupun marah, hanya aku
yang bisa membuatnya meredam kekesalan. Sudah hampir 5 tahun aku berteman
dengannya, sejak kelas 1 SMA.
Sudahlah aku tak mau memikirkan
Nesa, biarkan saja dia sibuk sendiri. Lebih baik aku kembali melamun. Beberapa
bulan yang lalu, aku mencoba untuk mengikuti sebuah lomba menulis cerpen. Entah
dorongan darimana, aku tiba-tiba ingin sekali mengikuti lomba itu. Beberapa
lomba langsung aku ikuti, walaupun tidak semuanya berhasil. Tapi aku cukup
bahagia karena salah satu karyaku terpilih untuk dijadikan sebuah buku. Aku
tidak pernah berharap lebih, aku waktu itu hanya iseng untuk mengisi waktu
luangku selain membaca novel. Karena aku di rumah tidak memiliki kesibukan
apapun, selain membantu Ibu membersihkan rumah. Mungkin keberhasilan inilah
yang akan selalu aku ingat terus.
Waktu
cepat sekali berlalu, sekarang bahkan sudah memasuki bulan Desember. Itu
artinya tinggal menghitung hari aku akan pindah. Aku menghela napas, mulai
berdiri di dekat jendela. Di luar sangat panas, matahari bersinar sangat terik.
Walaupun sudah memasuki musim hujan, tapi di Surabaya masih terasa panas.
Mungkin karena kota yang besar, polusi dimana-mana dan banyak industri yang
berdiri di kota dengan penduduk yang sangat banyak.
Sepertinya
sudah tak ada lagi kenangan yang aku lewati. Aku sangat bersyukur karena 1
tahun ini aku masih diberi kesempatan oleh Allah S.W.T untuk tetap menikmati
indahnya dunia. Aku berharap di tahun berikutnya aku masih bisa melewatinya
dengan baik.
Aku
meninggalkan jendela dan menghampiri Nesa. Ternyata dia masih belum selesai
menghias kue. Nesa memang orang yang teliti dalam melakukan hal apapun, jadi
dia tidak akan membiarkan kuenya terlihat jelek. Aku semakin mendekat ke
arahnya. “Nesa, aku pulang dulu, ya.” Nesa hanya melirikku sekilas. “Sudah
sore, aku harus pulang. Kamu bisa kan menyelesaikan itu sendiri.” Aku menunjuk
kue dengan daguku.
“Iya,
pulanglah! Jangan ganggu aku, aku nggak
bisa konsentrasi.”
Aku
mengerucutkan bibir, aku langsung berbalik meninggalkan Nesa. Aku berjalan ke
ruang tamu untuk mengambil tasku, lalu segera menuju pintu rumah untuk segera
pulang.
End
Biodata
Rheya
Krisma adalah nama pena dari Mariyam. Seorang gadis yang baru saja memulai
menulis sebuah cerita dan mengikuti berbagai event menulis. Seseorang yang
tidak mudah menyerah. Saat ini Mariyam belum memiliki kesibukan, selain membaca
novel di rumah. Menurutnya, sehari tanpa membaca rasanya membosankan. Mariyam
bisa dihubungi melalui facebook: Han Hye Sun Elf atau bisa kunjungi blognya
mariyamkpopers.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar