Sabtu, 27 Februari 2016

cerpen~Late Truth



Late Truth
            Setiap sore, terlihat ada seorang gadis yang menghabiskan waktunya di pinggir danau yang berada di tengah-tengah sebuah taman. Taman yang memiliki berbagai macam tanaman, beberapa tempat bermain untuk anak-anak, dan ada beberapa hewan yang cantik. Taman yang hampir setiap sudut ada pohon besar, bisa untuk berteduh di bawahnya. Gadis itu selalu berada di bawah pohon yang menghadap langsung ke danau. Entah apa yang dilakukan, ia hanya terlihat duduk bersandar dan memandangi danau sendirian. Ia datang pukul 3 sore dan pulang pukul 5 sore saat taman itu tutup.
            Gadis itu bernama Gita. Sudah beberapa tahun terakhir dia menjadi pengunjung tetap taman berdanau tersebut. Menurutnya air danau yang tenang akan membuat pikirannya tenang. Untuk seorang gadis yang memiliki banyak masalah seperti Gita, lebih baik memang menghabiskan waktu untuk menenangkan pikiran. Dibandingkan menghabiskan waktu dengan hal-hal yang merugikan.
            Beberapa tahun lalu Gita harus menelan rasa kecewa sekaligus benci, karena Ayahnya dengan mudahnya meninggalkan dia dan Ibunya. Alasannya sangat tidak masuk akal, hanya karena Ibunya sudah tidak bisa mengurus rumah dengan baik. Setiap hari Ayahnya mengeluh karena rumah yang selalu kurang bersih. Gita merasa itu hanya sebuah alasan yang dibuat-buat, buktinya setelah orang tuanya resmi bercerai, Ayahnya menikah lagi dengan wanita lain. Gita waktu itu masih berumur 15 tahun, masih belum cukup mengerti apa yang terjadi. Sekarang Gita sudah menginjak 20 tahun, sudah sangat mengerti yang terjadi dengan orang tuanya.
            Walaupun orang tuanya berpisah, Gita masih bisa bersekolah hingga SMA. Ibunya selalu berusaha bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Ibunya tidak pernah mengeluh dengan keadaan, selalu tersenyum dan tampak bahagia. Namun, Gita tahu kalau Ibunya sangat tersakiti. Semenjak itulah Gita sangat membenci keberadaan laki-laki, ia tidak mau memiliki nasib sama seperti Ibunya. Sampai sekarang Gita belum pernah dekat dengan laki-laki, atau lebih cenderung menghindari laki-laki.
            “Permisi!” Gita yang sedang duduk memandangi danau, dikejutkan sebuah suara laki-laki yang tiba-tiba ada di sampingnya.
Spontan Gita menoleh ke sumber suara. Gita mengernyitkan dahi, sama sekali merasa tidak mengenal laki-laki itu. “Siapa ya?” masih dengan wajah terkejut, suara Gita terdengar seperti takut.
“Tenang, aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya ingin duduk di sebelahmu, boleh?”
Gita memandangi laki-laki itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Berkali-berkali terdengar helaan napas dari Gita, ia tampak gugup dan takut. Namun setelah beberapa menit terdiam, Gita akhirnya membuka suara. “Bo...boleh.” Gita mencoba tersenyum.
Perlahan laki-laki itu duduk di samping Gita. Baru kali ini ia di hampiri seorang laki-laki, biasanya tidak ada yang memperhatikannya sama sekali. Jangannya dilihat, dilirik saja tidak. Semua orang sibuk dengan urusan masing-masing, tapi kenapa sekarang ada yang menghampirinya? Itulah yang sedang dipikirkan oleh Gita.
“Setiap hari aku lihat, kamu selalu duduk di bawah pohon ini dan hanya memandangi danau. Apa ini memang hobby bagimu?” Laki-laki itu bertanya dengan sedikit ragu.
Gita yang tak menyangka mendapat pertanyaan seperti itu, hanya bisa membeku di tempat. Setelah tersadar, Gita mulai merubah ekspresi wajahnya. Walaupun tak memungkiri kalau ia masih terlihat terkejut. “Apa aku begitu mencolok disini? Sampai-sampai kamu memperhatikanku. Apa yang aku lakukan disini bukanlah sesuatu yang penting untukmu, bukan begitu?” ucapan Gita terdengar menyindir.
Laki-laki itu malah tersenyum. “Bukan begitu maksudku, aku hanya penasaran. Karena kebanyakan perempuan yang kesini pasti lebih memilih untuk berfoto, atau lebih memilih kesini bersama dengan orang spesial.”
“Kamu sendiri kenapa memilih untuk mengurusi urusan orang lain?” ucapan Gita masih bernada menyindir.
“Ah, aku bukan ingin mengurusi urusan orang lain. Aku hanya penasaran, memangnya tidak boleh?”
“Itu sama saja kamu mengurusi orang lain. Lebih baik kamu urus dirimu sendiri.” Gita bangkit berdiri, lalu berjalan meninggalkan laki-laki itu. Gita memilih untuk pulang, daripada harus meladeni orang tidak jelas seperti tadi.
Laki-laki yang menganggu Gita malah menyunggingkan senyum yang lebar. Perempuan yang membuatku tertarik, sudah didekati dan membuat penasaran. Aku sudah terlanjur jatuh cinta, jadi nanti pasti aku bisa mendapatkanmu. Ucap laki-laki itu dalam hati. Ia memutuskan untuk pulang juga.
********
Seperti biasa, Gita terlihat sudah ada di dekat danau. Ia berharap tidak bertemu laki-laki yang kemarin. Gita benar-benar membenci laki-laki, sedikit pun tak ada niat untuk bisa memiliki laki-laki spesial dalam hidupnya. Walaupun tak dipungkiri kalau dia memang membutuhkan seorang pendamping suatu saat nanti. Harapan Gita musnah, ketika laki-laki yang kemarin duduk di sampingnya. Dengan wajah yang ceria, laki-laki itu menyunggingkan sebuah senyum termanis yang dia miliki.
“Hai...” sapa laki-laki itu. “Aku tidak mengganggu kan?” masih dengan tersenyum, laki-laki itu memperhatikan ekspresi Gita.
Gita yang diperhatikan, segera memalingkan wajahnya. “Kamu sangat mengganggu dan sangat menyebalkan. Bisakah kamu pergi dari sini? Atau aku saja yang pergi? Baiklah, aku saja yang pergi.” Gita langsung bangkit dari duduknya.
Sebelum Gita melangkah, laki-laki itu menarik lengan Gita. Sehingga Gita berhenti tanpa menghadap laki-laki itu. “Boleh aku tau namamu? Aku Gio, aku hanya ingin berteman denganmu, memangnya tidak boleh?”
Gita sama sekali tidak bergerak dari posisinya, bibir Gita rasanya tidak kuat untuk berkata-kata. “Tidak.” Hanya itu yang mampu diucapkan Gita. “Bisa kamu lepaskan tanganku?” terdengar penekanan dalam kalimat Gita.
Gio perlahan melepaskan tangan Gita, lalu Gita segera berlari meninggalkan Gio. Untuk kedua kalinya Gio ditolak secara terang-terangan. Selama ini Gio yang selalu menghindari gadis, tapi saat dia sudah menemukan gadis yang menarik perhatiannya, dia harus menerima penolakan. Sepertinya Gio memang harus memperjuangkan gadia yang belum dia ketahui namanya itu. Dengan langkah gontai, Gio pergi dari tempat itu. Ia bertekad, besok harus bisa mendekati gadis pujaannya itu.
Sementara itu, Gita yang berlari sama sekali tidak menghentikan larinya. Ia terus berlari, berlari dan berlari tak tentu arah. Sampai akhirnya dia sampai di depan sebuah rumah. Rumah yang dulu pernah ia tinggali bersama orang tuanya. Rumah yang sekarang bukan lagi tempat tinggalnya, masih terlihat sangat terawat. Itu pasti karena Ayah dan istri barunya merawat rumah itu dengan baik.
Gita menghela napas, ia tidak tahu kenapa malah ke rumah itu bukan ke rumah yang sekarang ia tinggali bersama ibunya. Gita memandangi rumah itu, ingatannya langsung kembali pada kejadian beberapa tahun lalu saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Dulu ia sering sekali bermain di taman kecil di samping rumah. Disana Ayahnya membuatkannya ayunan dari kayu, ayunan yang membuatnya bahagia karena Ayahnya selalu menemaninya bermain. Dulu keluarganya sangat bahagia, ia dibesarkan dengan kasih sayang. Tapi tidak, setelah ia menginjak usia 15 tahun. Semuanya berubah seperti berada di dalam neraka penuh siksaan. Hampir setiap hari orang tuanya bertengkar, saling membentak dan saling tidak peduli dengan dirinya. Waktu itu yang Gita dengar pertengkaran orang tuanya karena Ibunya dianggap tidak bisa mengurus rumah dengan baik. Namun, jauh dari pemikiran Gita, orang tuanya bertengkar karena Ayahnya yang berselingkuh.
Gita memejamkan mata, berusaha melupakan semua kenangan itu. Ia mengatur napasnya agar tidak mengeluarkan air mata. Tapi usahanya gagal, air mata itu telah jatuh membasahi kedua pipi cantiknya. Saat menangis itulah, tiba-tiba muncul seorang perempuan paruh baya dari dalam rumah. Perempuan itu memperhatikan Gita, lalu berjalan menghampirinya. Gita yang masih menangis, segera menghapus air matanya begitu mengetahui kehadiran seseorang.
“Cari siapa ya, dik?” perempuan itu bertanya ke Gita. Gita menebak bahwa perempuan itu istri baru Ayahnya. Gita memang tidak pernah bertemu dengan istri Ayahnya, bahkan sama sekali ia tidak ingin bertemu. Tapi, sekarang keadaannya berbeda. Ia sendiri yang telah datang ke rumah itu dan mau tak mau memang harus bertemu perempuan perebut Ayahnya.
Setelah beberapa menit terdiam, Gita membuka suaranya. “Tidak cari siapapun. Aku hanya kebetulan lewat, permisi.” Gita ingin cepat meninggalkan rumah itu.
Namun, baru beberapa langkah perempuan itu memanggilnya. “Tunggu!” Gita menghentikan langkah, tidak berbalik. “Kamu Gita, bukan? Kamu cari Ayahmu? Sayang sekali Ayahmu sudah meninggal 1 tahun lalu. Aku adik dari Ayahmu.”
Deg! Gita terkejut, ia tidak bisa bergerak dari tempatnya. Badannya terasa kaku, sehingga sulit digerakkan.
*********
Disini lah Gita sekarang, di pemakaman Ayahnya. Bibinya sudah menceritakan semuanya. Selama ini Gita dan Ibunya hanya salah paham. Ayahnya bukan berselingkuh, tetapi Ayahnya sakit dan menyembunyikan itu darinya juga dari Ibunya. Ayahnya mengidap kanker otak stadium empat, penyakit yang sangat ganas. Setelah mengetahui penyakit itu, Ayahnya memilih untuk tidak memberitahu siapapun kecuali Bibinya. Ayahnya tidak ingin membuat orang yang dicintainya bersedih.
Sesudah perceraian itu Ayahnya sering di rawat di rumah sakit, mengikuti segala macam pengobatan. Namun, tidak membuahkan hasil. Ayahnya tetap tidak bisa tertolong, walaupun selama empat tahun berusaha melawan penyakitnya. Kini Gita hanya bisa menangis, ia telah salah membencinya Ayahnya. Harusnya ia tidak membenci Ayah yang telah rela berkorban untuk keluarganya. Penyesalan memang datang terlambat, bahkan Gita tidak bisa melihat Ayahnya untuk terakhir kali.
“Ayah, maafkan Gita. Kalau Gita tahu Ayah sakit, Gita tak akan pernah membenci Ayah. Selama ini Gita telah berbuat salah, Gita tak menyangka Ayah akan seperti ini.” Gita berkata di sela-sela isak tangisnya.
Masih dengan menangis, Gita bangkit dan perlahan melangkah pergi dari pemakaman itu. Ia sudah tidak sanggup berlama-lama disana. Gita ingin memberitahu Ibunya kebenaran yang baru saja ia ketahui. Dengan langkah yang sangat lambat, Gita berjalan menyusuri setiap jalan untuk sampai di rumahnya.
     Sesampainya di rumah, Ibunya khawatir melihat Gita yang seperti mayat hidup. Matanya bengkak kemerahan, berjalan dengan gontai, pandangannya kosong. Ibunya segera membawa Gita ke kamarnya. Belum sempat Ibunya meninggalkan kamar, Gita bersuara. “Ayah sudah meninggal.”
Ibunya terkejut dengan ucapan Gita, membuatnya kembali duduk di samping Gita yang berbaring. “Apa maksud kamu?” Ibu mengeryitkan dahi.
“Kita telah salah paham, Ayah tidak selingkuh. Tapi, Ayah sakit kanker otak stadium empat. Ayah tidak ingin kita mengetahuinya, itulah yang membuatnya mencari alasan agar bisa bercerai dengan Ibu. Satu tahun lalu Ayah meninggal karena penyakitnya itu.” Hanya dengan sau kali tarikan napas, Gita mengucapkannya dengan suara lirih.
“APA????” Ibu membulatkan matanya. “Tidak mungkin!!! Kamu bohong kan, Gita?” Ibu tidak bisa menahan air matanya yang mengalir deras.
Untuk beberapa saat hanya terdengar isak tangis Ibunya, Gita hanya diam. Ia sudah lelah menangis terus. “Aku lihat sendiri makamnya, Bu. Ayah melakukan ini karena Beliau tidak ingin membuat kita bersedih.” Hanya itu yang diucapkan Gita.
********
Keesokan paginya, Ibu pergi ke makam sendiri. Gita memilih untuk di rumah saja. Kemarin ia sudah berkunjung kesana, kini biarkan Ibunya yang berkunjung sendiri. Dari semalam Gita tidak keluar kamar, makan pun tidak. Ia merasa sangat menyesal telah membenci Ayahnya sendiri. Ia tidak tahu harus bagaimana sekarang. Gita bangkit dari tempat tidurnya, ia berjalan menuju pintu. Tujuannya sekarang tempat kesukaannya, danau. Hanya disana ia merasa tenang.
Danau masih terlihat sepi, hanya ada beberapa pengunjung. Benar saja, sekarang baru pukul 2 siang, masih belum waktunya banyak pengunjung. Dengan begitu, Gita akan merasa lebih tenang lagi. Gita bersandar pada pohon, kakinya ditekuk agar bisa memeluknya. Pandangannya tertuju ke danau yang sangat indah.
Tanpa diketahui Gita, ada seseorang yang memperhatikannya. Orang itu Gio. Perlahan Gio menghampiri Gita, ia ingin menghiburnya. Gita terlihat sangat buruk, rambut panjangnya tidak tersisir dengan rapi, hanya diikat kuncir kuda. Matanya bengkak. Gio tidak tega melihat Gita seperti itu.
“Maaf menganggu lagi.” Gio langsung duduk di samping Gita. Gita tidak memberikan respon apapun, ia hanya diam. “Kamu lagi ada masalah? Aku bersedia menjadi tempat keluh kesahmu. Keluarkanlah semua yang mengganjal di hatimu, aku tak akan mengejekmu. Aku akan menjadi pendengar yang baik.” Tanpa memandang Gita, Gio mengucapkan semua itu.
Gita langsung bereaksi, ia menoleh ke Gio. Tanpa berkata apapun, Gita menyandarkan kepalanya di pundak Gio. Gio yang terkejut langsung menoleh, tapi membiarkan Gita seperti itu. Perlahan Gita menangis, Gio tetap diam menunggu cerita dari Gita. “A–aku telah membenci Ayahku yang tak seharusnya aku benci.” Gita berhenti sejenak untuk mengatur napasnya. “Ayahku sudah berkorban untukku dan Ibuku, tapi aku malah membencinya. Aku baru tahu kalau Ayahku meninggal karena sakit, padahal aku tahunya Ayahku selingkuh dan memutuskan untuk bercerai. Apa yang aku anggap benar, ternyata semuanya salah.” Tangis Gita semakin jadi. Entah kenapa Gita bisa bercerita selancar itu dengan orang yang belum ia kenal. Mungkin sekarang Gita memang membutuhkan seseorang untuk disampingnya. Gio kini melingkarkan tangannya untuk merengkuh tubuh Gita yang lemah.
Gio membiarkan Gita menangis dalam pelukannya, sampai Gita tenang baru Gio mulai bersuara. “Kenyataan dan kebenaran memang kadang sangatlah menyakitkan, tapi apa yang sudah terjadi tidak mungkin bisa diulang lagi. Sekarang yang harus kita lakukan adalah ikhlas menerima apapun kenyataan di hadapan kita. Jangan menyalahkan diri terus menerus, semua sudah ada yang mengaturnya. Lebih baik kamu mendoakan Ayahmu, daripada harus menangis.” Gio melepaskan pelukannya, lalu menghapus sisa air mata gita.
“Sudah jangan menangis lagi, tidak ada yang perlu disesali. Tersenyumlah!” Gio menarik kedua ujung bibir Gita, agar Gita mau tersenyum. Perlahan Gita menyunggingkan senyum, Gio pun ikut tersenyum.
********
Setelah pertemuan di danau itu, Gio sekarang bisa dekat dengan Gita. Hari-hari Gita yang dulu berkabut, kini sudah mulai cerah kembali. Gio mampu membuat Gita bangkit dari semua masalahnya. Bahkan sekarang mereka sudah resmi menjadi sepasang kekasih yang akan menikah. Cinta memang butuh sebuah kepercayaan dan pengorbanan. Itulah yang membuat Gita mau menerima Gio, hanya Gio yang dia percaya untuk membuat hidupnya menjadi lebih bahagia.
End

Tidak ada komentar: